[Chaptered] Infection #2 : Replication

tumblr_inline_nausx1n1IL1qfy9cp

Seunghoon & Jinwoo WINNER

Irene Red Velvet || Jiyeon T-ara

Romance, Fluff, Childhood, Comedy (?)

Chapter | Teen

.

Tanpa Seunghoon tahu, virus itu sudah terreplikasi selama setahun ini pada diri Jinwoo

.

Jam weker di kamar Jinwoo berbunyi nyaring tepat ketika jarum pendek menunjuk angka tiga. Pemuda berusia 20 tahun itu menghentikan sejenak kegiatan bercerminnya untuk mematikan bunyi alarm. Setelah itu, ia kembali pada kaca dan mematut penampilannya di sana. Jinwoo kemudian mengangkat kedua sudut bibirnya tinggi-tinggi.

Terlalu lebar.

Otomatis Jinwoo sedikit menurunkannya. Pemuda tersebut tetap mempertahankan pose itu selama beberapa saat.

Pas!

Tiba-tiba saja pintu kamar Jinwoo diketuk dari luar, membuat pria itu sedikit terkejut. Ini kan baru jam tiga, Jinwoo heran. Namun Jinwoo tak ingin membuang waktu dengan berpikir. Maka dengan terburu-buru, ia merapikan bentuk poninya, meraih sebotol parfum dan menyemprotkannya beberapa kali ke tubuh, tak lupa pula memeriksa bau nafas. Setelah merasa cukup, Jinwoo membuka pintu dengan gaya maskulin yang sangat kentara dibuat-buatnya lalu memamerkan senyum tiga jari yang sudah ia latih berulang-ulang. Namun, lengkungan manis itu menghilang dalam sekejap begitu Jinwoo melihat siapa tamu yang datang.

Lee Seunghoon. Anak dari pemilik kostan yang Jinwoo sewa. Bocah tengil itu memang senang sekali menemui Jinwoo dan mengganggunya seharian. Lihat saja, sebentar lagi anak itu pasti akan masuk tanpa permisi lalu bermain seenaknya memainkan barang-barang milik Jinwoo.

Sayangnya, tebakan Jinwoo salah. Anak itu tetap diam dan tidak menerobos masuk. Jinwoo memerhatikan Seunghoon seolah ada sesuatu yang tidak beres. Oh ternyata memang benar. Lihat saja wajah Seunghoon, terlihat begitu berbeda. Ini jelas bukan Seunghoon yang Jinwoo kenal. Terlepas dari kelakuannya yang over aktif, Seunghoon adalah anak yang ceria dan bersemangat. Ia selalu tersenyum dan menyapa orang-orang dengan ramah. Tapi kali ini raut wajahnya tampak begitu sendu.

“Seunghoon, kamu baik-baik saja? Apa kamu sakit?” Jinwoo bertanya cemas.

Anggukan lemah dari Seunghoon membuat Jinwoo semakin khawatir. Dengan segera ia membawa Seunghoon masuk ke kamarnya lalu menyiapkan semua alat kedokteran standar yang ia miliki.

Pertama-tama, Jinwoo mencoba mengukur suhu tubuh Seunghoon. Ia menempelkan telapak tangannya di dahi anak kelas satu SD tersebut dan merasakan panas tubuhnya. Kedua alis Jinwoo meliuk cepat sekian detik kemudian. Suhu badan Seunghoon normal, ia tidak terkena demam.

“Apa kamu sakit perut?”

Seunghoon menggeleng

“Sakit tenggorokan?

Seunghoon kembali menggeleng.

“Pusing?”

Lagi-lagi Seunghoon menggeleng.

“Lalu apa yang sakit?” Jinwoo bertanya frustasi.

Jari tangan Seunghoon perlahan terangkat lalu menunjuk dada kiri. Gestur Seunghoon membuat Jinwoo mencelos. Sakit jantung?

“Bagian itu terasa sakit? Apa rasanya benar-benar sakit?”

Namun Seunghoon menggeleng lagi. “Tidak sakit. Tapi rasanya aneh, hyung. Beberapa hari ini jantungku sering berdebar kencang. Rasanya sama seperti saat naik bianglala.”

Kening Jinwoo berkerut, tanda tak paham. Berdebar kencang bisa jadi salah satu tanda awal adanya gangguan pada jantung. Tapi entah kenapa rasanya Jinwoo kurang yakin.

“Apa kau pernah kesulitan bernapas? Mual? Atau mungkin merasa lelah tanpa alasan yang jelas?” Jinwoo memberondong Seunghoon dengan berbagai pertanyaan dan semua mendapat jawaban sama: tidak.

Jinwoo terdiam. Ia mulai membuat diagnosa mengenai masalah kesehatan yang dihadapi oleh Seunghoon. Namun, ini rasanya benar-benar rumit. Mungkin karena ia baru semester lima dan ilmu yang dimilikinya belum sampai ke tahap itu.

Kebisuan Jinwoo rupanya dipersepsi secara berbeda oleh Seunghoon. “Hyung, aku terkena infeksi yang berbahaya, ya? Apa itu artinya tanganku harus dipotong? Aku tidak mau,” suara Seunghoon bergetar.

Kerutan di dahi Jinwoo semakin nyata terlihat. Tadi Seunghoon mengeluhkan bagian dada tapi kenapa sekarang ia menyebut-nyebut perihal infeksi dan tangan yang harus diamputasi? Jinwoo gagal memahami korelasi antara itu semua.

Seolah paham dengan kebingungan Jinwoo, Seunghoon menceritakan duduk perkara masalahnya. “Dua hari lalu jariku terluka saat pelajaran seni rupa di sekolah. Hyung pernah bilang kalau luka itu bisa menimbulkan infeksi dan bahkan berujung dengan kematian, bukan?”

Jinwoo mengangguk mengiyakan. Ia memang pernah mengatakan itu pada Seunghoon. Semata-mata untuk membuatnya takut dan lebih berhati-hati saat menggunakan benda tajam.

“Sejak saat itu, aku merasakan hal yang aneh dengan jantungku. Seringkali berdebar kencang tanpa alasan.” Seunghoon menunjukkan telunjuk kirinya. “Apa ini merupakan gejala dari infeksi?”

Jinwoo menatap jari Seunghoon lamat-lamat. Plester luka yang lusuh hingga tak jelas warna dan motifnya –bahkan sudah hampir lepas- membalut kulit jari Seunghoon.

“Seunghoon, kamu harus mengganti plesternya. Itu sudah tidak layak pakai.”

Jika Seunghoon menduga lukanya infeksi karena gejala aneh yang ia alami, maka Jinwoo dapat memastikan bahwa itu hanya kekhawatiran yang tidak perlu. Tapi kalau luka itu dibiarkan begitu saja dengan plester kotor yang sudah beberapa hari tidak diganti, bukan tidak mungkin jika lukanya akan benar-benar infeksi.

Dengan cekatan, Jinwoo mengambil plester, iodine, dan kassa dari dalam tasnya. Baru saja tangannya hendak menangkap jari Seunghoon, bocah itu malah menyembunyikan jemarinya di belakang tubuh.

“Plesternya harus diganti supaya terhindar dari infeksi.”

Jinwoo terus berusaha membujuk Seunghoon. Ia bahkan menakut-nakutinya dengan jarum suntik, amputasi, hingga mati. Tapi taktiknya sama sekali tidak manjur. Jinwoo juga menawarkan opsi untuk membelikan plester dengan motif yang sama besok tapi Seunghoon tetap tak bergeming.

“Aku tak mau menggantinya,” Seunghoon tetap teguh pada pendiriannya. Jinwoo sampai pusing sendiri. Sepenting itukah plester ‘lecek’ tersebut bagi Seunghoon?

“Kamu sangat menyukai plester itu?” Jinwoo bertanya penasaran. Kali ini, ia mendapat sebuah anggukan dari Seunghoon. Tidak hanya itu saja, anak itu bahkan tersenyum tipis sekarang. Dan jika Jinwoo tidak salah lihat, wajah Seunghoon terlihat memerah.

Sebuah bola lampu besar muncul di samping kepala Jinwoo. Kira-kira seperti itulah jadinya jika keadaan Jinwoo sekarang digambarkan dalam bentuk animasi. Sebuah pemikiran yang sangat brilian melintas tiba-tiba di kepalanya.

“Apa kamu mendapatkan plester itu dari seseorang?”

Ne, temanku, Jiyeon namanya. Ia seorang gadis yang manis dan pintar. Setiap hari memakai tas punggung bergambar Barbie ke sekolah. Biasanya rambutnya dikucir kuda dengan pita merah muda tapi terkadang ia membiarkan rambut sebahunya terurai. Oh, ia juga pandai membaca dan bercerita. Dongeng kesukaannya Cinderella omong-omong,” Seunghoon berceloteh panjang lebar tanpa diminta.

“Hmm, apa jantungmu berdebar saat kamu melihatnya?” Jinwoo bertanya hati-hati.

Rona merah di pipi Seunghoon kelewat jelas terbaca. Tangannya juga merayap ke dada. Seunghoon tak perlu mengatakan apapun lagi, Jinwoo sudah tahu bahwa jawabannya adalah ‘iya’ dengan mutlak.

Jinwoo mendecak. Antara percaya dan tidak. Masa sih bocah seumuran Seunghoon sudah mengalami gejala ‘itu’?

“Jadi bagaimana hyung, apa aku benar-benar terkena infeksi?” Raut kecemasan kembali lagi pada wajah Seunghoon. Padahal ia sempat melupakan kekhawatirannya selama beberapa menit lalu.

Jinwoo menatap Seunghoon dengan nanar. Bagaimana caranya menjelaskan masalah seperti ini pada anak enam tahun yang baru masuk sekolah dasar? Masalah ini terlalu rumit bahkan untuk manusia ukuran dewasa sepertinya. Jinwoo berusaha mengelak namun bukan Seunghoon namanya jika bisa diakali. Dia terus merajuk dan Jinwoo hapal betul Seunghoon tak akan mau pergi sebelum mendapat jawaban.

Hyung akan memberitahumu,” suara Jinwoo memelan, sehingga mau tak mau Seunghoon mendekatkan diri padanya. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam sembari mempersiapkan jawaban. Dalam hati ia berdoa semoga perkataannya nanti bisa segera dilupakan oleh Seunghoon. “Kamu sudah terkena infeksi cinta yang diakibatkan oleh virus merah jambu,” Jinwoo berbisik di telinga Seunghoon.

Ekspresi terkejut terpatri pada wajah Seunghoon. “Apa itu berbahaya?”

“Tidak, tidak. Lagipula rasanya tidak sakit, kan?” Jinwoo mengambil jeda, memastikan Seunghoon menggeleng. Setidaknya untuk saat ini tidak akan sakit, Jinwoo menggumam.

“Meski rasanya mungkin seperti jantungmu akan meledak terutama saat dekat dengan Jiyeon, tapi hal menyeramkan seperti itu tidak akan terjadi. Percayalah.”

“Lalu, aku harus bagaimana?” tanya Seunghoon antusias.

“Kamu harus bersikap normal. Sembunyikan infeksi yang kau alami, terlebih dari Jiyeon.”

“Kenapa?”

Pertanyaan Seunghoon barusan sedikit menohok. Jinwoo menghela napas dan membuang pandangannya pada langit-langit kamar seperti tengah memikirkan sesuatu. “Karena jika dia tahu, dia mungkin akan menjauh darimu,” ujar Jinwoo sungguh-sungguh. Dia sangat berpengalaman dalam hal ini.

Seunghoon baru saja akan mengajukan pertanyaan lain ketika terdengar suara ketukan dari luar. Jinwoo kaget mendengarnya. Ia melirik jam yang menunjukkan pukul 03.30. Pemuda itu kemudian bangkit dari duduknya dengan kecepatan penuh. Namun bukannya menuju pintu, Jinwoo malah mendekati cermin dan memperbaiki penampilannya. Suara ketukan dari luar semakin keras terdengar dan Jinwoo segera berlari ke arah pintu. Sementara itu Seunghoon menelengkan kepalanya karena bingung dengan kelakuan Jinwoo.

“Ha. .hai Irene. Maaf membuatmu menunggu.”

Seunghoon memberanikan diri mengintip dari celah pintu dan ia menemukan seorang kakak perempuan yang cantik tengah berdiri di luar. Kulitnya seputih susu, rambut hitamnya begitu lurus dan panjang seperti yang biasa ditunjukkan iklan shampo. Dan oh, kakak ini juga punya mata yang indah. Meski bagi Seunghoon tentu saja mata Jiyeon jauh lebih memukau.

“Tak apa,” Irene tersenyum. “Omong-omong, bukunya?”

Jinwoo menepuk pelan keningnya. Ia hampir lupa dengan maksud kedatangan Irene. Padahal saat di kampus tadi gadis itu sudah mengatakan dengan sangat jelas bahwa ia akan datang ke kostan Jinwoo pada pukul 03.30 untuk meminjam buku tentang kardiologi.

“Tunggu sebentar, akan ku ambilkan,” Jinwoo masuk sebentar ke dalam kamar lalu kembali pada Irene dengan sebuah buku super tebal di tangannya. Irene menyunggingkan senyum sembari menerima buku dari Jinwoo. Tapi senyum manisnya tak bertahan lama dan digantingkan dengan kernyitan kecil.

“Maaf Jinwoo, tapi. . .” Irene membalik buku tadi, menunjukkan sampul depannya. Rahang bawah Jinwoo turun membuat mulutnya terbuka. Dia salah ambil buku ternyata.

“Maaf, akan segera ku bawakan,” Jinwoo berbalik tapi sedetik kemudian kembali menghadap Irene. “Kali ini buku yang benar.”

Jinwoo kembali ke kamarnya dengan wajah yang gugup. Seunghoon yang sedari tadi terus memerhatikan polah Jinwoo merasa ada sesuatu yang aneh pada hyungnya itu. Setahu Seunghoon, Jinwoo adalah pemuda yang pintar dan sangat dapat diandalkan. Ia bahkan selalu mendapat bantuan dari Jinwoo saat kesulitan dengan tugas sekolah. Tapi kali ini hyung panutannya itu malah kikuk dan terlihat bodoh.

Melihat tingkah polah Jinwoo, membuat Seunghoon teringat pada dirinya sendiri. Rasanya ia juga suka begitu saat dekat dengan Jiyeon. Didorong rasa penasaran yang tinggi Seunghoon mendekati Jinwoo untuk memastikan dugaannya.

Jinwoo baru memberikan buku kardiologi pada Irene ketika Seunghoon tiba-tiba saja muncul dari dalam dan menarik tangannya.

“Dia, Seunghoon, anak pemilik kostan,” Jinwoo menjelaskan sebentar pada Irene yang terlihat bingung. “Ada apa?” ia lantas beralih pada Seunghoon, mencondongkan tubuh ke depan agar tinggi mereka sepantar.

Alih-alih menjawab, Seunghoon malah mendekatkan telinganya ke dekat dada Jinwoo. Setelah beberapa detik, ia mundur beberapa langkah dengan wajah khawatir.

Hyung, bagaimana ini? Kau tertular infeksi dariku.”

Kedua alis Irene sedikit naik menahan bingung. Dan tanpa bisa Jinwoo cegah, Seunghoon berkoar-koar memberikan penjelasan mengejutkan untuknya dan Irene.

Hyung, menunjukkan gejala yang sama.Jantung berdebar keras,” Seunghoon menunjuk dada Jinwoo. “Hyung, juga terkena infeksi cinta!”

Jinwoo menangis dalam hati. Perasaan yang sudah setahun penuh ia tutup-tutupi, terbongkar gara-gara seorang bocah ingusan.

END

Yeaaaa part 2 beres tinggal satu part lagi hihi

Makasih buat yang udah baca, komentar sangat ditunggu 🙂

4 pemikiran pada “[Chaptered] Infection #2 : Replication

  1. kkeke seunghoon bner2 udh terkena infeksi cintanya jiyeon xD hhaha jinwoo udh khawatir aja sma seunghoon, pdhalkan seunghoon hanya terkena infeksi cinta 😀 hhihi ya ampun seunghoon malah ngebocorin rahasia jinwoo yg lgi terkena infeksi cinta, dan ngomongnya pas didepan irene xD ditunggu next chapternya ^,^

    Suka

Tinggalkan komentar